Siti Munjiyah

Rintisan Nyai Ahmad Dahlan dan suaminya pada tahun 1913, yaitu setahun pasca berdiri Muhammadiyah, telah membuahkan hasil. Gadis-gadis di Kauman yang mereka sekolahkan telah tumbuh dewasa. Mereka menguasai baik ilmu pengetahuan agama serta umum.

Siti Aisyah

Dalam pertemuan antara tokoh-tokoh Muhammadiyah dengan beberapa gadis Kauman pada tahun 1917, anak ini memang tidak tampak. Umurnya memang masih belia. Walaupun tak terlihat, tetapi gadis ini bakal menduduki posisi ketua organisasi wanita Islam pertama yang berhasil dibentuk oleh Hoofdbestuur Muhammadiyah pada tahun 1917.

Sunat Perempuan dalam Pandangan Islam

 

Sejarah Sunat Perempuan Sunat perempuan dilakukan pertama kali di Mesir sebagai bagian dari upacara adat yang diperuntukkan khusus bagi perempuan yang telah beranjak dewasa. Tradisi sunat perempuan di Mesir merupakan akulturasi budaya antara penduduk Mesir dan orang Romawi yang saat itu tinggal di Mesir. Data historis mengungkapkan bahwa khitan (untuk laki-laki) diperkenalkan dalam Taurat yang dibawa Nabi Musa AS. untuk diimani dan ditaati orang Yahudi dari bangsa Israel. Akan tetapi, jauh sebelumnya tradisi sunat telah dilakukan Nabi Ibrahim AS dan diyakini sebagai petunjuk yang datang dari Tuhan.

Sunat perempuan di Afrika dikenal istilah khitan firauni (khitan ala Fir’aun) yang masih berlangsung sampai sekarang. Karena kini banyak pelakunya berasal dari golongan Muslimin, pihak-pihak tertentu memahami bahwa itulah ajaran Islam dalam hal khitan perempuan, padahal yang melakukan khitan firauni bukan hanya Muslimah. Khitan tersebut sangat sadis dan bertentangan dengan ajaran Islam. Seperti apakah khitan firauni tersebut? Ada beberapa tipe tindakan: (1) dipangkas clitoris-nya, (2) ada juga yang dipotong sebagian bibir dalam vaginanya, (3) ada juga yang dijahit sebagian lubang tempat keluar haidnya.

Sampai kini, sunat perempuan dalam realitas sosiologis masih banyak dilakukan di negara-negara Islam atau wilayah yang berpenduduk mayoritas Muslim. Akan tetapi, menarik juga diungkapkan bahwa praktik sunat perempuan justru tidak umum dilakukan di wilayah asal turunnya Islam, yaitu Arab Saudi. Di Indonesia, sunat perempuan dilakukan sebagai tradisi atau upacara adat, yang kadang memaksakan untuk dilakukan pesta secara besar-besaran yang mengarah kepada isyraf atau berlebihan, meskipun terkadang biaya untuk memenuhi pelaksanaan upacara tradisi tersebut sampai berhutang demi menjaga martabat. Dalam konsep Jawa kuno, upacara sunat perempuan dimaksudkan untuk menunjukkan peralihan dari masa kanak-kanak ke masa remaja yang ditandai dengan diperkenankannya menggunakan pakaian adat yakni berbusana dengan jarit atau kain batik panjang dengan model sabuk wolo, yaitu model pakaian berkain kebaya pada remaja. Bahkan karena kentalnya nuansa adat Jawa kuno itu, apabila ada anak perempuan belum disunat diberi ejekan yang mengarah pada diskriminatif.

Definisi Sunat Istilah sunat berasal dari bahasa Arab, yaitu khitan. Kata khitan secara etimologis berasal dari akar kata Arab khatanayakhtanu-khatnan, artinya ‘memotong’. Berbagai kitab fikih klasik menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sunat adalah memotong kuluf (menghilangkan sebagian kulit) yang menutupi hasyafah atau ujung kepala penis. Khitan laki-laki sering ditengarai sebagai penanda orang Islam. Bahkan orang Jawa menyebut khitan semakna dengan istilah ngislamaken (mengislamkan). Adapun sunat perempuan dalam bahasa Arab disebut khifadh berasal dari kata khafdh, artinya ‘merendahkan kulit yang menutup klitoris pada vagina.’

Pro dan Kontra Sunat Perempuan
Ada beberapa ulama, di antaranya Ibnu Qudamah, yang mengatakan bahwa khitan adalah wajib bagi laki-laki namun tidak wajib bagi perempuan. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW.:
Dari Ummu ‘Atiyah tukang khitan perempuan dari bani Anshar di Madinah, bersabda Nabi SAW. “Sayatlah sedikit dan jangan berlebihan, karena hal itu akan mencerahkan wajah dan menyenangkan suami” (Diriwayatkan Abu Dawud dan Baihaqi).

Berbeda halnya dengan khitan untuk laki-laki yang bertujuan untuk kesucian dan kebersihan, khitan untuk perempuan meskipun hadisnya tidak mencapai derajat sahih dapat membawa kemuliaan. Suatu kajian menilai Hadis itu sebagai Hadis dhaif, karena salah satu sanadnya Muhammad ibnu Said yang mati disalib karena zindiq dan dia telah membuat 4.000 Hadis palsu (Rofiq, 2014:112). Senada dengan itu, hadis yang sumbernya dari Anas:

Dari Anas bin Malik sesungguhnya Nabi SAW. berkata kepada Ummu ‘Atiyah tukang khitan perempuan dari Madinah: “Sayatlah sedikit dan jangan berlebihan, karena hal itu akan mencerahkan wajah dan menyenangkan suami” (diriwayatkan Thabrani).

Derajat hadis ini juga dhaif, kelemahannya bukan pada dhabit al-rawi (keilmuan perawi), tapi pada kredibilitas perawi yaitu Zaidah Ibu Abi Raqqad sebagai perawi yang mungkar.

Masih memberitakan Ummu ‘Atiyah yakni hadis yang sumbernya dari Dhaha’ Qais:

Dari Dhaha’ Qais berkata: “Adalah seorang perempuan di Madinah tukang sunat perempuan bernama Ummu ‘Atiyah, nabi berkata kepadanya: ‘Wahai Ummu ‘Atiyah, Sayatlah sedikit dan jangan berlebihan, karena hal itu akan mencerahkan wajah dan menyenangkan suami’” (Diriwayatkan Baihaqi dan Thabrani).

Derajat hadis sama dengan hadis yang telah disebutkan, yakni tidak mencapai derajat sahih karena salah satu sanad perawinya A’la ibn Hilal ar-Raqiy adalah seorang yang mungkar dan suka membolak balikkan sanad, bahkan juga ada perawi yang jalurnya tidak diketahui namanya (terputus).

Ada sebuah Hadis yang sangat populer, bersumber dari Utsamah, bahwa Nabi Muhammad SAW. bersabda:
Khitan itu sunah bagi laki-laki dan kemuliaan bagi perempuan (diriwayatkan Imam Ahmad, Baihaqi, Thabrani)

Dari analisa hukum dalam Hadis tersebut disebutkan sunah, akan tetapi Imam Hanafi (dalam Hasiyah Ibnu Abidin), Imam Maliki (dalam asy-Syarhu ash-Shagir), dan Imam Syafii (dalam al-Majmu), memiliki pendapat atau pandangan bahwa hukum khitan bagi laki-laki adalah wajib bukan hanya sunah, karena perintah Allah untuk mengikuti mengikuti jejak Nabi Ibrahim (an-Nahl:123).

Artinya : Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”

Khusus masalah mengkhitan anak perempuan, mereka memandang bahwa hukumnya adalah mandub (sunah). Menurut Rofiq, kedudukan hadis ini mauquf, yaitu disandarkan pada sahabat dan mata rantai perawi bernama Hajja ibnu Arthah yang mudallis (menyembunyikan kecacatan hadis) enggan menggunakan “simbol” akhbarana (telah diceritakan padaku).

Ada sebagian ulama juga yang berpendapat karena mengikuti fitrah sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW.:

Fithrah itu ada lima: “Khitan, mencukur rambut kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku, dan memotong kumis” (HR. Bukhari Muslim).

Bahwa, perempuan yang dikhitan mengikuti hal fitrah yang diberikan Allah SWT. Namun demikian sesuai dengan definisi bahwa khitan istilah untuk anak-laki-laki adalah dipotong sedang untuk perempuan adalah khifadh, sehingga secara logika kata khitan dalam Hadis tersebut bukan untuk perempuan.

Kesimpulan
Sebagian ulama memandang bahwa khitan perempuan itu adalah untuk pemuliaan. Akan tetapi, Hadis yang menyarankan khitan perempuan—baik yang sumbernya langsung Ummu ‘Atiyah, maupun yang disampaikan Utsamah dan Dhaha’ Qais— tidak ada satupun yang mencapai derajat sahih, dan bahkan kedudukannya malah dhaif dengan berbagai macam alasan.

Maka, terang bahwa khitan perempuan tidaklah dianjurkan. Sunat perempuan akan menjadi mudharat apabila pelaksanaanya hanya sekadar untuk memenuhi tradisi atau adat yang arahnya pada pesta secara berlebihan. Bahkan, sebenarnya menurut penulis, sunat perempuan dapat
mengarah pada pelanggaran etika, khususnya apabila sunat itu dilakukan berdasarkan tuduhan bahwa perempuan jika tidak disunat tidak terkekang libidonya. Atau, dengan kata lain, sunat perempuan dilakukan dengan alasan untuk mengekang hawa nafsu. Sedangkan khitan laki-laki dilakukan karena untuk kesucian dan kesehatan, bukan dengan alasan pengekangan nafsu. •

Disadur dari : Buku Menafsir Ulang Kesehatan Reproduksi dalam Perspektif Islam Berkemajuan

Haid : Masa Suci dan Jenis Darah

Menurut hadis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Fatimah binti Abu Hubaisy yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah, yang berbunyi:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ أَبِى حُبَيْشٍ كَانَتْ تُسْتَحَاضُ فَسَأَلَتِ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ ذَلِكَ عِرْقٌ، وَلَيْسَتْ بِالْحَيْضَةِ، فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِى الصَّلاَةَ، وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِى وَصَلِّى. [رواه البخاري]

Artinya: Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Fatimah binti abu Hubaisy sedang istihadhah lalu dia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (tentang hal itu), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan itu adalah penyakit, bukan haid, jika haid datang maka tinggalkanlah shalat dan jika haid pergi maka mandilah dan shalatlah’. [HR. al-Bukhari]

Hadis di atas menggunakan kata perintah ightasili (mandilah) dan shalli (salatlah). Dalam kaidah ushul fiqh dikatakan bahwa al-amru ‘inda al-ithlaq yaqtadhi al-wujub wa al-mubadarah bi fi‘lihi (perintah mutlak/tanpa tambahan ikatan menunjukkan bahwa apa yang diperintahkan hukumnya wajib dan harus segera dikerjakan). Artinya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kaum wanita untuk menyegerakan mandi ketika haid sudah selesai, tidak boleh menunda-nunda. Lalu untuk menentukan akhir masa haid, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberikan petunjuk seperti dalam riwayat ‘Aisyah berikut:

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهَا قَالَتْ إِنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ بِنْتَ جَحْشٍ الَّتِى كَانَتْ تَحْتَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ شَكَتْ إِلَى رَسُولِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- الدَّمَ فَقَالَ لَهَا امْكُثِى قَدْرَ مَا كَانَتْ تَحْبِسُكِ حَيْضَتُكِ ثُمَّ اغْتَسِلِى. فَكَانَتْ تَغْتَسِلُ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ. [رواه مسلم]

Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Aisyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata: Ummu Habibah binti Jahsy yang berada di bawah (istri) Abdurrahman bin ‘Auf mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang darahnya, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: ‘Diamlah selama masa haidmu biasanya menahanmu, setelah itu mandilah.’ Ia biasanya mandi suci setiap salat.” [HR. Muslim]

Dengan demikian, untuk bersuci dari haid seorang wanita juga tidak harus buru-buru, namun sesuai kebiasaan. Jika memang biasanya keluar sedikit-sedikit, maka pada beberapa saat ia bisa menunggu sampai akhir masa kebiasaan haidnya. Bahkan dalam suatu riwayat (atsar) diceritakan bahwa ‘Aisyah mendapat kiriman kapas bernoda kuning sisa haid dari para perempuan, maka dia mengatakan: Jangan tergesa-gesa, sampai kalian melihat warna putih! (atsar ini dapat dilihat pada buku as-Sunan al-Kubra lil-Baihaqi; bab as-sufrah wa al-kudrah fi ayyam al-haidl haidlun)

Jadi, jika digabungkan antara perintah menyegerakan mandi, menghitung akhir haid sesuai kebiasaan dan tanda-tanda akhir haid yang dikatakan ‘Aisyah di atas, dapat dipahami bahwa seorang wanita tidak harus segera mandi ketika darah sudah tidak mengalir setiap waktu, pada akhir-akhir masa haid. Ia dapat menunggu sesuai kebiasaan akhir haidnya dan di antara tandanya adalah keluar warna putih. Dan jika warna putih sudah keluar, maka ia harus bersegera mandi.

Adapun untuk menjawab pertanyaan, apakah harus menjamak salat atau tidak, maka kami sampaikan bahwa ijmak ulama menyepakati bahwa wanita haid tidak diperintahkan mengqadha` salat, juga seperti dalam riwayat Abu Dawud berikut:

عَنْ مُعَاذَةَ أَنَّ امْرَأَةً سَأَلَتْ عَائِشَةَ أَتَقْضِى الْحَائِضُ الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ لَقَدْ كُنَّا نَحِيضُ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- فَلاَ نَقْضِى وَلاَ نُؤْمَرُ بِالْقَضَاءِ. [رواه مسلم]

Artinya: “Diriwayatkan dari Mu`adzah bahwa seorang perempuan bertanya kepada ‘Aisyah: Apakah perempuan haid harus mengqadha’ salat? ‘Aisyah menjawab: Apakah kamu bidadari? Kami haid pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kami tidak mengqadha’ salat dan tidak diperintah untuk mengqadha’.”  [HR. Muslim]

Jadi, wanita haid tidak perlu mengqadha’ maupun menjamak salat. Kondisi saudari pada saat Magrib adalah pada masa menunggu apakah darah akan keluar lagi atau tidak, maka saudari masih berada dalam keraguan. Kaidah ushul fiqh menyatakan bahwa:

اليَقِيْنُ لاَ يُزَالُ بِالشَّكِّ

Artinya: “Keyakinan (kepastian) tidak dapat dihapuskan dengan yang keraguan.”

Maksudnya adalah jika seseorang merasa ragu pada suatu masalah, seperti seseorang yang sudah berwudhu merasa ragu apakah dia mengeluarkan angin atau tidak, maka yang diakui adalah keyakinan awalnya yaitu dia sudah berwudhu. Keraguannya akan keluarnya angin tidak diakui. Pada keadaan saudari, yang yakin adalah bahwa darah saudari benar-benar berhenti pada saat Isya, pada saat Magrib darah masih diragukan berhenti atau tidak. Berarti yang diakui adalah bahwa saudari suci pada saat Isya, bukan pada saat Magrib. Jadi saudari dikenakan kewajiban salat Isya saja tidak perlu menjamak dengan salat Magrib.

Sedangkan untuk darah yang keluar di luar kebiasaan, bahkan hanya saat buang air kecil, maka seperti penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis kepada Ummu Habibah dan Fatimah Binti Abu Hubaisy di atas, yaitu bahwa darah haid itu seperti kebiasaan haid sebelumnya. Jika di luar kebiasaan, maka itu bukan haid dan tetap salat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menerangkan bahwa haid itu warnanya hitam dan sudah diketahui sebagaimana dalam hadis berikut:

عَنْ عَائِشَةَ ، أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ أَبِي حُبَيْشٍ كَانَتْ تُسْتَحَاضُ ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ دَمَ الْحَيْضِ دَمٌ أَسْوَدُ يُعْرَفُ، فَإِذَا كَانَ ذَلِكَ فَأَمْسِكِي عَنِ الصَّلاَةِ، فَإِذَا كَانَ الْآخَرُ فَتَوَضَّئِي وَصَلِّي. [صحيح ابن حبان]

Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Aisyah bahwa Fatimah binti Abu Hubaisy mengalami istihadhah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sesungguhnya darah haid itu hitam dan dikenal, maka jika begitu tinggalkanlah salat, namun jika selain itu maka wudhulah dan salatlah’.” [Sahih Ibnu Hibban]

Dari hadis tersebut kami meyakini bahwa setiap perempuan pasti bisa mengenali darah haidnya. Dan jika ada kejanggalan pasti dia juga dapat mengenalinya, seperti yang saudari alami saat ini. Oleh karena itu, kami sarankan sebaiknya saudari berkonsultasi ke dokter, untuk mendapat kepastian lebih apa yang terjadi. Karena seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas bahwa darah haid adalah seperti kebiasaan dan dapat dikenali, selain itu adalah kelainan atau penyakit.

Sumber : fatwatarjih.or.id

Kriteria Busana yang Baik dan Islami Bagi Muslimah

Sahabat ‘Aisyiyah, seringkali kita sebagai muslimah masih bingung terhadap kriteria busana yang kita pakai dalam kehidupan sehari-hari. Dalam masalah busana muslimah, Islam tidak memberi batasan harus seperti gambar-gambar yang saudara kirimkan kepada kami atau gambar-gambar lainnya. Akan tetapi Islam justru memberi kebebasan kepada kaum muslimat untuk berhias dan memakai pakaian sesuai adat istiadat atau kondisi tempat atau musim atau acara atau hal-hal lainnya. Ini karena fungsi utama pakaian itu adalah untuk menutup aurat, melindungi tubuh dan berhias. Allah berfirman:

يَا بَنِي آَدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآَتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آَيَاتِ اللهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ. [الأعراف، 7: 26]

Wahai anak cucu Adam, sungguh Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan bulu (sebagai bahan pakaian untuk menghias diri). (Akan tetapi,) pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu merupakan sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Allah agar mereka selalu ingat. [QS. al-A’raf (7): 26]

Allah juga berfirman:
وَجَعَلَ لَكُمْ سَرَابِيلَ تَقِيكُمُ الْحَرَّ وَسَرَابِيلَ تَقِيكُمْ بَأْسَكُمْ كَذَلِكَ يُتِمُّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تُسْلِمُونَ. [النحل، 16: 81]

Dia menjadikan pakaian bagimu untuk melindungimu dari panas dan pakaian (baju besi) untuk melindungimu dalam peperangan. Demikian Allah menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu agar kamu berserah diri (kepada-Nya. [QS. an-Nahl, 16: 81]

Di dalam sebuah hadis, Rasulullah saw menyatakan bahwa Allah suka melihat hamba-hamba-Nya itu memanfaatkan nikmat-nikmat-Nya:

[عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللهَ يُحِبَّ أَنْ يَرَى أَثَرَ نِعْمَتِهِ عَلَى عَبْدِهِ. [رواه الترمذي وقال: حديث حسن
Dari Amru bin Syu’aib (diriwayatkan) dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya Allah suka jika bekas nikmat-Nya terhadap hamba-Nya dilihat”. [HR. at-Tirmidzi dan beliau berkata: Ini hadis hasan]

Berdasarkan hal itu, kaum muslimat boleh memakai pakaian yang mereka sukai dengan bentuk, warna, bahan kain dan hiasan apapun asal sesuai dengan ketentuan syariat berikut:

  1. Pakaian tersebut menutup seluruh aurat. Dan aurat perempuan itu adalah seluruh tubuhnya mulai ujung rambut hingga ujung kaki selain wajah dan telapak tangan.
  2. Pakaian tersebut tidak ketat sehingga menampakkan lekuk-lekuk tubuh.
  3. Pakaian tersebut tidak tembus pandang sehingga menampakkan tubuh secara samar-samar dan apalagi secara terang-terang.
  4. Pakaian tersebut sopan, patut dan sederhana. Sopan dan patut artinya tergantung kepada orang yang memakainya. Orang tua tentu berbeda dengan remaja putri. Sedang bekerja di sawah tentu berbeda dengan ketika berada di rumah. Sementara sederhana artinya tidak mewah, menyolok, berlebih-lebihan, tidak sampai menyapu jalan, dan tidak untuk pamer.

Jika ketentuan di atas dipenuhi maka tidak mengapa jika kaum mukminat membuat pakaian mereka dengan bentuk bulat, lonjong, kotak atau lainnya. Tidak mengapa mereka memilih warna merah atau hijau atau hitam atau lainnya, meskipun warna yang disukai Rasulullah saw adalah warna putih. Tidak mengapa mereka menggunakan bahan kain dari katun atau kulit onta atau bulu domba atau bahkan dari sutera. Dan tidak mengapa mereka menggunakan hiasan pakaian (asesoris) seperti bordir, manik-manik dan lain-lain sesuai dengan selera masing-masing.

Berdasarkan keterangan di atas, maka busana-busana muslimah seperti dalam gambar-gambar yang saudara kirimkan kepada kami, semuanya Islami dan sesuai sunah Rasul, insya Allah.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber : fatwatarjih.or.id

Hubungan Perempuan dan Laki-laki Relasi Kuasa atau Relasi Setara?

 

Sahabat ‘Aisyiyah, Hubungan antara laki-laki sebenarnya bukan relasi kuasa, akan tetapi relasi setara. mengapa demikian?

Islam mengajarkan umatnya bahwa perempuan dan laki-laki adalah setara di hadapan Allah. Dari perbedaan sifat laki-laki dan perempuan tersebut, muncullah ciri-ciri khusus laki-laki dan perempuan yang sedemikian rupa sehingga saling melengkapi dalam menjalankan tugas dan perannya baik dalam ranah domestik (rumah tangga) maupun publik (masyarakat). Dengan demikian, keduanya mempunyai potensi, tugas, peran, dan peluang pengembangan diri.

Dalam buku Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah yang telah ditanfidz Pimpinan Pusat Muhammadiyah tahun 2015 menyebutkan bahwa Al-Quran telah mengisyaratkan prinsip-prinsip relasi kesetaraan perempuan dan laki-laki, di antaranya:

Pertama, perempuan dan laki-laki sama-sama sebagai hamba Allah, keduanya memiliki kedudukan setara dan memiliki fungsi ibadah. Yang membedakan kedudukan keduanya di hadapan Allah hanyalah kualitas iman, takwa, pengabdian kepada Allah dan amal salihnya (QS. Adz-Dzariyat: 56).

Kedua, laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai khalifah (wakil) Allah di muka bumi. Mereka berdua memiliki kesempatan dan wewenang sama menjalankan fungsi dalam mengelola, memakmurkan dunia dan memimpin sesuai dengan potensi, kompetensi, fungsi, dan peran yang dimainkannya (QS. Al Baqarah: 30 dan QS. at-Taubah: 71).
Ketiga, Adam dan Hawa bersama-sama sebagai aktor dalam kisah al-Quran tentang penciptaan manusia. Seluruh ayat tentang kisah Adam dan Hawa sejak di surga hingga turun ke bumi menggunakan kata ganti mereka berdua (huma) yang melibatkan secara bersama-sama dan secara aktif Adam dan Hawa.

Misalnya, 1) Adam dan Hawa diciptakan di surga dan mendapatkan fasilitas surga (QS. Al-Baqarah: 35); 2) Adam dan hawa mendapatkan kualitas godaan yang sama dari setan (QS. al-A’raf: 20); 3) Bersama-sama melanggar norma yang digariskan Allah dan sama-sama memakan buah pohon larangan, sehingga menerima akibat diturunkan ke bumi (QS. al-A’raf: 22); dan 4) Adam dan Hawa bersama-sama memohon ampun dan diampuni Allah (QS. al-A’raf: 23).

Keempat, Laki-laki dan perempuan sama-sama berpotensi untuk meraih prestasi dan kesuksesan (QS.an-Nisa’: 124). Sebab Islam tidak mengajarkan untuk memandang hidup dengan penuh pesimisme. Sebab, Allah Swt telah melarang orang yang beriman baik laki-laki maupun perempuan untuk berputus asa dari rahmat-Nya (QS. Yusuf: 87 dan Az-Zumar: 53)

Kelima, Laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan setara di depan hukum. Perempuan yang berbuat salah akan mendapatkan sanksi atas pelanggaran yang telah dilakukannya sebagaimana laki-laki. Keduanya bertanggung jawab atas kesalahan yang telah diperbuatnya. Al-Quran telah menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan yang berzina mendapat hukuman had (QS. an-Nur: 2). Demikian juga para pencuri, perampok, koruptor, baik laki-laki maupun perempuan akan mendapat sanksi atas kesalahan yang diperbuatnya (QS. al-Maidah: 38).

Nilai-nilai kesetaraan di atas jika benar-benar diimplementasikan insya Allah akan memudahkan untuk mewujudkan cita-cita diturunkannya Islam sebagai rahmah bagi semua alam. Karena itu nilai-nilai kesetaraan tersebut seharusnya dijadikan dasar utama untuk memahami relasi laki-laki dan perempuan termasuk dalam membangun keluarga.

Sumber : muhammadiyah.or.id

Persentuhan Kulit Perempuan dan Laki-laki: Apakah Membatalkan Wudhu?

 

Apakah persentuhan kulit perempuan dan laki-laki membatalkan wudhu ?

Di kalangan cendekiawan agama khususnya kalangan ulama, terdapat perbedaan penafsiran terhadap ayat suci Al-Quran. Contoh nyatanya adalah perbedaan penafsiran QS. Al Maidah ayat 6. Ayat ini bersama dengan kalimat aw lamastumu al nisa (menyentuh kulit) mengundang perbedaan pemahaman dan perbedaan pendapat di kalangan ulama yang mencoba mendefinisikan makna sebenarnya.

Ali dan Ibnu Abbas, dua tokoh ulama terkemuka, memiliki pandangan yang mengarah pada dimensi yang lebih intim. Mereka berpegang pada pandangan bahwa makna aw lamastumu al nisa adalah bersetubuh. Perspektif ini memandang bahwa sentuhan antara laki-laki dan perempuan dalam konteks hubungan suami-istri adalah bagian dari relasi yang alami dan diakui dalam norma kehidupan berkeluarga.

Namun, sudut pandang yang berbeda muncul dari Umar bin Khattab dan Ibnu Masud. Mereka mengartikan ayat ini sebagai persentuhan kulit, lebih mengarah pada sentuhan fisik yang mungkin lebih ringan atau tidak berhubungan dengan hubungan seksual. Ini memberi dimensi baru pada makna ayat tersebut, lebih menekankan pada aspek ketertiban dan batas-batas pergaulan.

Perbedaan ini kemudian mengarah pada pandangan berbeda terkait batalnya wudhu akibat persentuhan tersebut. Ulama-ulama dari mazhab Hanafiyah, menganut pandangan pertama, yaitu bahwa persentuhan kulit laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini menganggap bahwa sentuhan semacam itu masih dalam lingkup yang diperbolehkan dalam ritual keagamaan.

Namun, ulama-ulama dari mazhab Hambaliyah dan Syafiiyah memiliki pandangan berbeda. Mereka berpendapat bahwa persentuhan seperti itu membatalkan wudhu dan memerlukan pengulangan. Pandangan ini mendasarkan pada interpretasi mereka terhadap makna ayat dan bagaimana hal itu dapat mempengaruhi kesucian individu dalam perspektif keagamaan.

Lalu, ada juga pandangan ulama Malikiyah, yang beranggapan bahwa persentuhan kulit laki-laki dan perempuan hanya membatalkan wudhu jika menimbulkan syahwat, yaitu rangsangan seksual. Ini menunjukkan nuansa yang lebih halus dalam penafsiran dan penerapan hukum keagamaan, dengan mempertimbangkan faktor-faktor psikologis dan emosional.

Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PWM DI Yogyakarta Rohmansyah dalam kajian bakda salat zuhur di Masjid KH Ahmad Dahlan UMY pada Kamis (03/08) menjelaskan posisi Muhammadiyah dalam perbedaan penafsiran ini. Menurutnya, dalam buku Tanya Jawab Agama jilid V, Muhammadiyah mengambil sikap yang berpihak pada pandangan pertama, yang menolak pandangan bahwa persentuhan kulit laki-laki dan perempuan membatalkan wudhu. Ini didukung oleh berbagai argumen dan dalil, salah satunya merujuk pada pengalaman ‘Aisyah, istri Nabi Muhammad SAW.

Dalam sejarah, suatu peristiwa menarik perhatian: malam di mana ‘Aisyah, istri Nabi, kehilangan sang suami dari tempat tidur. Dalam pencariannya, ia merabanya dan secara fisik merasakan kaki Nabi yang sedang sujud. Ini diberikan sebagai contoh konkret dalam mendukung pandangan bahwa persentuhan semacam itu tidak membatalkan wudhu.

“Pada suatu malam saya kehilangan Rasulullah Saw dari tempat tidur, kemudian saya merabanya dan tanganku memegang dua telapak kaki Rasulullah yang sedang tegak karena beliau sedang sujud” (HR. Muslim dan at Tirmidzi serta menshahihkannya).

Melalui berbagai sudut pandang ulama ini, kita melihat betapa kompleksnya proses penafsiran dan penerapan hukum dalam kehidupan beragama. Perbedaan dalam interpretasi ayat-ayat suci menggambarkan keragaman dalam pemikiran dan pandangan yang menghasilkan berbagai pendekatan dalam menjalankan praktik keagamaan sehari-hari.

Sumber : Muhammadiyah.or.id

Pelestarian Lingkungan Perwujudan Kemuliaan Manusia Sebagai Khalifah di Bumi

MALANG – Islam oleh Muhammadiyah ditampilkan sebagai kekuatan dinamis untuk transformasi sosial dalam dunia nyata kemanusiaan melalui gerakan “humanisasi” (mengajak pada serba kebaikan) dan “emanisipasi” atau “liberasi” (pembebasan dari segala kemunkaran), sehingga Islam diaktualisasikan sebagai agama Langit yang Membumi, yang menandai terbitnya fajar baru. Demikian itu disampaikan Ketua Divisi Lingkungan Hidup LLHPB Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Hening Parlan pada Kuliah Ahad Subuh (KAS) yang diselenggarakan oleh Biro ADM. Akademik dan Pengembangan Al Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK) Universitas Muhammdiyah Malang (UMM) pada Ahad (11/12/22).

Dalam acara yang bertempat di Masjid AR. Fachruddin UMM ini Hening menyampaikan bahwa Muhammadiyah diinspirasi oleh Al-Qur‘an Surat Ali Imran 104 ingin menghadirkan Islam bukan sekedar sebagai ajaran transendensi yang mengajak pada kesadaran iman dalam bingkai tauhid semata dan bukan Islam yang dipahami secara parsial.

Lebih jauh ia mengatakan, dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar pada bidang pertama terbagi kepada dua golongan. Pertama kepada yang telah Islam bersifat pembaharuan (tajdid), yaitu mengembalikan kepada ajaran Islam yang murni. Kedua kepada yang belum Islam, bersifat seruan dan ajakan untuk memeluk Agama Islam.

Lanjutnya, adapun dakwah amar ma’ruf nahi munkar kedua, ialah kepada masyarakat, bersifat perbaikan dan bimbingan, serta peringatan. Kesemuanya itu dilaksanakan dengan dasar takwa dan mengharap keridhaan Allah semata-mata. “Melaksanakan dua gerak dakwah amar ma’ruf dan nahi munkar dengan caranya masing-masing yang sesuai kepribadian Muhammadiyah yaitu menggerakkan masyarakat menuju tujuannya yaitu, terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya,”paparnya.

Terkait lingkungan hidup, ia mengatakan, Muhammadiyah tahun 1990-1995 mempunyai program di bidang lingkungan hidup yakni. Pertama, berpartisipasi dalam pengembangan usaha-usaha pelestarian lingkungan hidup dan pencegahan kerusakan alam dari berbagai pencemaran dan perusakan. Kedua, berpartisipasi aktif dalam pengembangan usaha-usaha pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup. Ketiga, kesadaran dan usaha-usaha penciptaan lingkungan yang sehat dan bersih khususnya di kalangan warga Muhammadiyah dan umat Islam sesuai ajaran Islam yang sangat menaruh perhatian terhadap kesehatan, sehingga tercipta tradisi hidup sehat di lingkungan yang juga sehat. Keempat, menumbuhkan kesadaran warga Muhammadiyah untuk melaksanakan dan mendukung program tersebut.

Ia juga mengungkapkan, sekitar satu abad setelah kelahirannya, sejak tahun 2003, Muhammadiyah telah mendirikan Lembaga Studi dan Pemberdayaan Lingkungan Hidup (LSPLH) dan menjadikan program lingkungan sebagai bagian tidak terpisahkan dari program organisasi. “Pada Muktamar Muhammadiyah ke 45 Tahun 2005 di Malang diubah menjadi Lembaga Lingkungan Hidup (LLH) Muktamar Muhammadiyah ke 46 di Jogja bertepatan dengan 1 Abad, yaitu tahun 2010 diubah lagi menjadi Majelis Lingkungan Hidup (MLH) agar lebih memudahkan operasionalisasi program dan kegiatannya,”ungkapnya.

“Pada Muktamar Muhammadiyah ke 47 di Makasar ditegaskan terkait peran penyelamatan dan pengelolaan lingkungan melalui Majelis Lingkungan Hidup dengan tujuan terwujudnya kesadaran, kepeduliaan dan perilaku ramah lingkungan warga Muhammadiyah dan masyarakat pada umumnya dalam rangka melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar,”imbuhnya.

Dalam kesempatan itu, dirinya mengungkapkan bahwa, Muktamar ‘Aisyiyah juga menetapkan lahirnya Lembaga Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana (LLHPB) merupakan perwujudan dari amanat keputusan Muktamar ‘Aisyiyah ke 47 di Makassar tahun 2015. “Lembaga ini bertujuan mendukung dan mengusahakan upaya pelestarian lingkungan hidup dan penanggulangan bencana sebagai perwujudan kemuliaan manusia sebagai pemimpin di muka bumi sehingga tercipta budaya melestarikan dan menjaga lingkungan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,”ungkapnya.

Dalam acara Kuliah Ahad Subuh yang mengusung tema “Muhammdiyah dan Gerakan Lingkungan” yang dihadiri tidak kurang dari 1.000 mahasiswa ini Hening menyampaikan bahwa ada nilai dan etika yang harus dihadirkan untuk menyemangati umat manusia dalam upaya penyelamatan bumi. “Landasan epistemologis dari teologi lingkungan adalah kesadaran agama-agama bahwa krisis lingkungan sudah sangat parah saat ini sehingga bencana alam pun terus menerjang umat manusia,”pungkasnya. Hal tersebut kata dia, bukan semata problem sekuler, melainkan juga merupakan problem religius atau problem teologis.

“Untuk mencapai Baldatun Toyyibatun Warrobun Ghofur, ada beberapa catatan strategis yang harus dilakukan yakni melakukan transfer pengetahuan, proses pendampingan, kolaborasi, mobilisasi sumberdaya, dan sistimatisasi gerakan menjadi ide dan aksi yang berdampak,”tutup Hening. (Iwan Abdul Gani/Suri)

Gerakan ASI ‘Aisyiyah Melintas Zaman

Gerakan ASI oleh ‘Aisyiyah telah dimulai sejak masa-masa awal berdiri. Kegiatan yang diberi nama Kongres Bayi atau semacam kontes bayi sehat sebagaimana terdapat dalam foto, berlangsung dalam perhelatan Kongres ‘Aisyiyah di Minangkabau tahun 1930 yang dihadiri oleh utusan-utusan ‘Aisyiyah se-Indonesia. Dalam Kongres Bayi tersebut, ‘Aisyiyah bekerja sama dengan para dokter Bumiputera, Tionghoa, maupun Belanda untuk memeriksa kesehatan para bayi. Usai pemeriksaan, dokter dan seksi kesehatan dari ‘Aisyiyah akan memberikan edukasi kepada para ibu tentang kesehatan anak, bahwa kesehatan bayi juga ditentukan oleh kesehatan ibu ketika mengandung, pentingnya ASI bagi bayi, bahaya nyamuk, anjuran memandikan bayi dengan sabun, dan manfaat imunisasi untuk bayi.

Komitmen ‘Aisyiyah terhadap kesehatan ibu dan anak saat itu, membuat Kongres Bayi menjadi kegiatan rutin yang diselenggarakan di setiap Kongres ‘Aisyiyah, seperti Kongres ‘Aisyiyah di Makasar tahun 1932, di Yogyakarta tahun 1937, dan Kongres 28 di Medan pada 1939. Kegiatan semacam Kongres Bayi atau baby show bukan hanya diselenggarakan dalam perhelatan besar seperti Kongres ‘Aisyiyah, tapi juga diselenggarakan hingga di tingkat ranting (desa). Ini dilakukan agar semakin banyak para ibu yang mendapatkan edukasi tentang kesehatan anak. Keberpihakan ‘Aisyiyah terhadap kesehatan ibu dan anak, termasuk gerakan ASI terus berlanjut dalam berbagai bentuk kegiatan baik di masyarakat maupun melalui amal usaha kesehatan ‘Aisyiyah hingga saat ini, ketika ‘Aisyiyah telah memasuki usia 2 Abad. (Sumber : Anak ASI, Generasi EMAS; PP ‘Aisyiyah, 2014)

 

Koperasi dan Rumah Bibit BSA Mangli, Buktikan Perempuan Mampu

“Apa bisa perempuan mendirikan koperasi pembibitan? apa bisa langgeng? apa bisa bertahan ?” Ucapan-ucapan pesimis itu kerap kali didengar oleh para Anggota Balai Sakinah ‘Aisyiyah Desa Mangli, Kecamatan Kaliangkrik, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Sahmi, Sekretaris Koperasi Berkah Surya Setaman yang menaungi rumah pembibitan menyampaikan ia dan teman-teman sudah kebal mendengar kalimat-kalimat pesimis semacam itu, karena kalimat serupa sudah terdengar saat ia bersama perempuan Desa Mangli lainnya membentuk Balai Sakinah ‘Aisyiyah (BSA) dampingan program ‘Aisyiyah MAMPU. “Kami sejak awal mendirikan BSA juga sudah sering mendengar hal seperti itu, sudah biasa, tetap maju saja, kita tetap semangat, Bismillah, ikhtiar kita Alhamdulillah bisa mendirikan koperasi itu suatu anugerah,” ungkap Sahmi.

Wartiyah, Ketua Koperasi Berkah Surya Setaman menyampaikan bahwa koperasi ini awalnya terbentuk karena para perempuan anggota BSA ingin membentuk wadah untuk memajukan basis kegiatan di tani yaitu membantu pemasaran. “Awal mulanya kami ingin membentuk koperasi untuk wadah pengepul sayur-mayur yang kami panen,” ujar Wartiyah. Akan tetapi setelah berdiskusi lebih lanjut para perempuan BSA ini melihat bahwa pengepul sayur organik yang seperti mereka tanam masih belum diminati oleh masyarakat luas sedangkan pengepul sayur non organik sudah banyak pesaingnya. “Awalnya rencana kami mengepul sayur kemudian memasarkan tetapi setelah dipikirkan kembali untuk pembibitan lebih menguntungkan,” jelasnya.

Fakta bahwa para petani di Mangli harus ke luar desa untuk membeli bibit menambah keyakinan para perempuan BSA ini untuk mendirikan koperasi rumah pembibitan pada tahun 2020. “Para petani di Desa Mangli ini kalau membeli bibit harus ke Ngablak, karena itu kami meyakinkan diri bahwa akan sangat membantu sekali untuk warga sini jika bisa beli bibit di Mangli,” ujar Wartiyah.

Jalan mendirikan koperasi dan membangun rumah pembibitan bukanlah jalan yang mulus. Diakui oleh Sahmi, pendanaan dan tenaga menjadi kendala awal dalam perjalanan mereka. “Kami mendirikan koperasi juga tidak punya biaya, hanya ada dana 1.700.00 tapi rumah bibit itu habisnya 5 juta, kami bertanya-tanya duit e ki soko endi, tapi alhamdulillah kami merasakan manfaatnya saat kita berkelompok itu bisa saling urun dan sambung menyambung masalah biaya,” kisah Sahmi.

Untuk permasalahan tenaga pun mereka sangat berterimakasih karena suami-suami dari ibu-ibu anggota BSA yang menjadi anggota koperasi turut urun tenaga membantu berdirinya rumah bibit ini. “Kami melibatkan bapak-bapak yang istrinya ikut koperasi, para bapak itu sangat antusias luar biasa, apalagi yang sangat kami salut anggota yang dari Mangli Mbojong suaminya selalu ikut kegiatan di koperasi terutama kegiatan rumah bibit, kami sangat terharu.”

Sahmi mengaku saat ini sewa lahan untuk rumah pembibitan sudah terlunasi. Kemudian juga secara bertahap sudah mulai melunasi pinjaman uang para anggota koperasi yang digunakan untuk pembangunan rumah bibit.

“Alhamdulillah rumah pembibitan ini sudah berjalan, tadinya kami takut kalau tidak laku, mikire gini mba, kita pesimis sama kegiatan kita, ah apa yo payu bibit kita ini?” ujar Sahmi. Saat ini ketakutan itu dapat mereka lalui dengan senyum keberhasilan karena hampir semua bibit yang dibuat sudah ada yang memesan. “Awalnya rumah bibit ini kami mulai hanya dengan 29 beki dan kita mulai dari lahan yang kecil, kemudian kita memberanikan diri memperluas lahan, alhamdulillah setelah luas lahan, dari luar dusun pun beli di kami.” Sahmi menyampaikan petani yang membeli bibit di Koperasi Berkah Surya Setaman saat ini sudah berasal dari 3 dusun yakni Mangli Krajan, Mangli Mbojong, dan Mangli Dadapan. “Alhamdulillah melalui gethuk tular saja rumah pembibitan kami diminati.”

Disampaikan oleh Wartiyah bahkan rumah pembibitan saat ini belum bisa memenuhi permintaan bibit yang masuk. “Setiap orang bisa 20 sampai 30 beki sekali beli,” ungkap Wartiyah. Ia menyebut dalam satu beki berisi sekitar 400 bibit dan permintaan yang masuk perbulan dikisaran 300 beki dan akan semakin banyak jika di musim penghujan, tetapi pihaknya belum dapat memenuhi permintaan tersebut.
Wartiyah bersyukur karena kerja keras para ibu anggota BSA di koperasi dan rumah pembibitan ini mulai menunjukkan hasilnya.

“Alhamdulillah setiap bulannya kan ada piket, per piket ada gaji yg diberikan, kmudian setiap membuat bibit atau ngepot setiap beki dihitung Rp. 4000, perbulan ada yang bisa membuat 50-100 beki sehingga bisa menambah perekonomian keluarga,” terangnya.
Wartiyah berharap Koperasi dan Rumah Pembibitan ini dapat semakin maju dan bisa memenuhi kebutuhan pembibitan di Desa Mangli bahkan sampai ke se-Kabupaten Magelang. “Mudah-mudahan ibu-ibu selalu semangat dan istiqomah berkoperasi dan produktif di rumah pembibitan ini.” (Suri)